Minggu, 24 Juni 2012

John Mayer - Born and Raised [review]

John-mayer-born-and-raised
John Mayer terkenal dengan lagu-lagunya yang cukup flirty (e.g. 'Your Body is a Wonderland') atau seperti di album sebelumnya, lagu-lagu tentang patah hati akut yang seakan tidak akan pernah sembuh. Dengan sentuhan blues/pop yang selalu setia di album-albumnya, John dengan setia menyentuh hati para wanita dan kaum yang tersakiti hatinya.

Album 'Battle Studies' karya John Mayer sebelumnya memang adalah sebuah karya curahan hati pribadi milik John yang handal. Akan tetapi, John sepertinya sudah sukses melupakan masa lalunya yang pedih itu, sembari mengambil arah yang baru dalam bermusik di album kelima ini, 'Born and Raised'.

Di 'Born and Raised', John melebarkan sayapnya dengan mengambil unsur musik Americana; dari folk hingga country. Mungkin dari track pertama kalian akan heran dan bertanya-tanya "Is this really John Mayer?", ya ini adalah John Mayer yang kalian kenal. Walaupun memasukkan unsur Americana yang terasa seperti Bob Dylan atau Neil Young, John tetap tak lupa memasukkan akar bluesnya ke dalam album ini.

'Shadow Days' adalah single pertama dari album ini. Dari lagu ini, John sudah bercerita kalau dia sudah meninggalkan masa lalunya yang kelam yang tergambar dari lirik "..got a tough time, had a rough start. But my shadow days are over.." Di lagu ini pula terasa perpaduan blues khas John dengan unsur musik Americana yang terdengar merdu.

"Now the cover of a Rolling Stone, ain't the cover of a Rolling Stone." di lagu 'Speak for Me' terasa menggambarkan bahwa dia sudah berubah, bukan seorang rockstar yang pernah menjadi cover majalah Rolling Stone lagi. Dan track ini pun adalah sebuah ballad folk yang manis, dalam kepala saya terbayang seorang cowboy kesepian yang memainkan gitar di lagu ini sambil memandangi alam yang sepi di wild west sana.

Track-track lain seperti 'Born and Raised', 'Love is a Verb' juga layak untuk disimak.

Secara keseluruhan, album ini adalah sebuah fine effort dari John Mayer dalam meredefinisi musiknya dan memberi sentuhan-sentuhan baru. John masih setia memanjakan pendengar lamanya dengan sentuhan blues, namun seperti musisi pada umumnya, tidak heran kalau ia mencoba bereksplorasi dengan memainkan genre yang baru di albumnya. Saya setuju dengan Rolling Stone yang memberi album ini solid 4 stars out of 5. Sebuah album yang menyenangkan dan juga berani.

Senin, 18 Juni 2012

Prometheus dan Berbagai Pertanyaan Di Baliknya

220px-prometheusposterfixed

Beberapa waktu lalu saya baru saja selesai menonton film Prometheus, yang heboh di dunia maya dengan viral campaignnya dan hebohnya testimoni audiens yang baru saja menontonnya.

Sebagai orang yang cukup selektif dalam memilih film yang akan ditonton, saya membaca beberapa review yang beredar di internet, baik dari kritikus maupun orang biasa. Reaksi mereka bermacam-macam, dari yang memuji film ini sampai yang bereaksi dengan kalimat "What the fuck?"

Walaupun awalnya agak ragu untuk menonton film ini, tapi karena penasaran dengan apa yang membuat film ini jadi sangat "What the fuck?" dan membuat orang-orang heboh, berangkatlah saya menonton film ini bersama Ines dan mas Bambang .

Oke, setelah menonton film ini selama kurang lebih dua jam, saya merasa telah di-'mindfuck' dan mengeluarkan kalimat "What the fuck?" berkali-kali.

120607_movies_prometheus
Saya tidak ingin membuat ini menjadi review film karena untuk film ini saya sama sekali tidak ada niatan untuk mereview. Terutama setelah cerita yang sangat mindfuck itu semakin tidak ada pikiran untuk membuat reviewnya sama sekali karena otak benar-benar berpikir banyak selama menonton film ini.

Jadi inti cerita dari film ini (tenang, bukan spoiler bagi yang belum menontonnya) adalah pertanyaan besar tentang penciptaan kita sebagai manusia dan seberapa jauh kita akan melangkah untuk memenuhi rasa keingintahuan kita sebagai manusia.

Saya pribadi, sebagai orang yang skeptis kepada agama dan antara percaya dan tidak dengan eksistensi Tuhan, semakin mempertanyakan apa yang saya percayai dan membandingkan dengan apa yang dipercaya orang lain. Was it God the one who created us? Or did other beings created us, humans? Ini baru satu dari sejumlah pertanyaan lainnya.

Prometheus
Beberapa jam setelah menonton ini, kepala saya masih memikirkan esensi film ini. Jujur saja, dari segi plot film ini sangatlah pointless. Tapi saya rasa, bukan itu yang hendak disampaikan Ridley Scott sampaikan lewat film ini. Mungkin belia hendak menguji seberapa jauh iman kita lewat film ini (or so what I think). Bahkan mungkin ingin menguji intelegensia para audiens, yang bahkan sampai memunculkan Prometheus Discussion Group di timeline twitter saya.

Dengan banyaknya beban yang mengganjal setelah menonton film ini, saya merasa perlu menonton film ini untuk kedua kalinya for the sake of getting more mindfuck and finding the answers.

Jadi, apakah anda yang sudah menonton merasa tertantang, baik intelegensia maupun keimanannya? Bagi yang belum, apakah anda siap menontonnya?