Kamis, 17 Februari 2011

Revie Iron Maiden live in Jakarta; Ibadah Haji Metal yang Sukses

Tanggal 17 Februari 2011, tanggal pertunjukan Iron Maiden yang dinantikan kaum metalheads se-Indonesia pun akhirnya tiba. Iron Maiden berkunjung ke Indonesia dalam rangka 'The Final Frontier World Tour', selain di Jakarta mereka juga akan melakukan konser di Bali pada tanggal 20 Februari. Saya sebagai salah satu anggota metalheads pun merasa berkewajiban untuk menonton konser Iron Maiden ini. Saya sendiri baru menggemari Iron Maiden sejak SMA, kontras dengan penggemar lainnya yang rata-rata sudah mendengarkan mereka bahkan sejak saya belum lahir. Walaupun sempat ragu untuk menonton Iron Maiden, akhirnya sebulan lalu saya memantapkan diri untuk nonton, sekali seumur hidup gitu looo...

Konser Iron Maiden ini pada awalnya hendak diadakan di Stadion Utama Gelora Bung Karno, stadion kebanggaan Indonesia yang dulu sempat digunakan untuk konser Deep Purple dan Mick Jagger. Tapi entah oleh alasan apa, mendadak venue dipindahkan ke Carnaval Beach Ancol. Menurut pihak promotor, PSSI sendiri yang membatalkan GBK sebagai venue konser. Entah alasan yang digunakan PSSI itu benar atau tidak. Paling tidak bagi kaum metalheads, selama konser Iron Maiden tetap diadakan rasanya tidak begitu masalah.

Saya sendiri tiba di Carnaval Beach Ancol pukul 19.00, dalam keadaan cukup terburu-buru karena menurut promotor band opening akan main mulai pukul 19.30. Tetapi pada kenyataannya band opening yaitu Rise To Remain baru naik ke atas panggung pukul 20.00. Saya sendiri tidak begitu mempermasalahkan sih, selama bisa tetap melihat Iron Maiden secara langsung.

Awalnya saya mengira saya penonton paling muda di konser ini, tapi ternyata ada beberapa anak umur 10-13 tahun yang juga ikut menonton Iron Maiden. Cukup salut sama orangtua anak-anak itu, mengenalkan musik metal sejak dini. Dan ternyata penonton yang perempuan pun cukup banyak, dari kakak-kakak unyuu sampai tante-tante, yang berjilbab pun ada. Iron Maiden pun sukses menyatukan bermacam-macam orang dengan latar belakang yang berbeda pada malam itu.

Konser dibuka dengan penampilan Rise to Remain, band metalcore asal Inggris yang dimotori oleh Austin Dickinson, anak dari Bruce Dickinson. Saya sudah cukup sering mendengarkan band-band beraliran metalcore, dan menurut saya penampilan mereka tidaklah begitu buruk walaupun musiknya standar saja khas band metalcore lainnya. Austin Dickinson sendiri sepertinya mewarisi karisma dan kekuatan vokal dari sang ayah.

Rise to Remain hanya membawakan 5-6 lagu. Penonton sendiri masih terlihat kalem saja selama Rise to Remain di atas panggung.

Setelah Rise To Remain, giliran bintang utama muncul yaitu Iron Maiden. Jarak antara penonton yang tadinya renggang menjadi sangat rapat. Saya sendiri sampai kesulitan untuk bergerak.

Sewaktu opening lagu 'Satellite 15... The Final Frontier' dimulai, gelombang manusia pun terjadi. Gempa bumi lokal baru dimulai ketika Iron Maiden muncul di atas panggung menyanyikan lagu opening tersebut dan disambung dengan 'El Dorado' dan '2 Minutes to Midnight'.

Penampilan Bruce Dickinson, Steve Harris, Janick Gers, Dave Murray, Adrian Smith, dan Nicko McBrain malam itu benar-benar total. Penampilan mereka tidak terlihat seperti orang-orang yang sudah berusia kepala 5. Bruce Dickinson masih sanggup melengking dan berlompatan di panggung, seakan-akan staminanya tidak pernah habis. Steve Harris juga berkeliaran di panggung dengan bass nya. Janick Gers, Adrian Smith, dan Dave Murray bergantian menyiksa gitar dengan solo gitar yang menakjubkan. Nicko McBrain pun masih sanggup menggebuk drum dengan penuh tenaga. Mereka tampil all-out membawakan 13 lagu plus 3 lagu di saat encore.

Penonton sepertinya terlihat kurang antusias saat Iron Maiden membawakan lagu-lagu dari album terbaru 'The Final Frontier' seperti 'The Talisman', 'Coming Home', dan 'When The Wild Wind Blows'. Penonton baru menggila dan menyebabkan gempa bumi lokal saat lagu-lagu klasik semacam 'The Evil That Men Do', 'The Wicker Man', 'The Trooper', 'Fear of the Dark', dan 'Iron Maiden'.

Maskot dari Iron Maiden, Eddie (format The Final Frontier), yang kira-kira setinggi 3 meter sempat muncul di atas panggung dan ikut memainkan gitar.

Perunjukan Iron Maiden berlangsung selama sekitar 2 jam. Bagi saya pribadi, setlist mereka masih kurang panjang. Saya masih inigin mendengarkan banyak lagu-lagu lama mereka seperti 'Aces High', 'The Clairvoyant', 'Flight of the Icarus', dan banyak lagi.. Penonton pun sepertinya masih belum puas, bahkan mereka (termasuk saya) masih berteriak memanggil Maiden kembali setelah encore.

Walaupun puas melihat pertunjukan Iron Maiden, saya masih merasa sound mereka kurang maksimal. Banyak yang berpendapat bahwa angin yang kencang menyebabkan sound mereka jadi sedikit pecah, memang saat pertunjukan kemarin angin cukup sering berhembus. Tapi sepertinya mayoritas penonton tidak begitu mempermasalahkan hal tersebut, bagi mereka yang penting penantian puluhan tahun mereka untuk menonton Iron Maiden secara live akhirnya terbayar.

Bruce Dickinson pun berjanji akan kembali lagi ke Indonesia suatu saat nanti. Semoga saja terealisasi dan teman-teman yang belum sempat naik haji metal bersama Iron Maiden bisa meraih gelar hajinya

Senin, 14 Februari 2011

Mark Ronson is coming to town!

Image courtesy of Ismaya Group (ismaya.posterous.com)

 

Yes, our lovely music producer is coming to town!

Pasti banyak di antara kalian yang belum mengenal figur satu ini. Tapi bila kalian menggemari album-album seperti 'Back To Black' dari Amy Winehouse, 'Alright, Still' dari Lily Allen, atau 'Off With Their Heads' milik Kaiser Chiefs, kalian harus mengenal Mark Ronson. Ya, dia adalah produser dari album-album yang disebutkan tadi. Dan belum lama ini Mark Ronson juga memproduseri album baru Duran Duran yaitu 'All You Need Is Now'

Well, selain sebagai produser Mark Ronson juga menghasilkan album sendiri. Sejauh ini dia sudah memiliki 3 album yaitu 'Here Comes The Fuzz', 'Version', dan 'Record Collection' yang dirilis bersama band nya dengan nama Mark Ronson & The Business Intl

Like I've said befroe, Mark Ronson is coming to town. Not with his band though, he'll be performing alone in a DJ Set. Yap, dia juga berbakat sebagai DJ.

Mark akan melakukan DJ Set nya pada tanggal 18 Maret 2011 nanti di Blowfish. Come and see him live and dance with his music!

Selasa, 08 Februari 2011

Review Deftones live in Concert, Jakarta; Sukses Ibadah Umrah Metal

Walaupun saya penggemar musik metal, saya terbilang jarang nonton konser/gigs metal. Namun saat Deftones dikonfirmasi untuk menggelar konser di Indonesia untuk pertama kalinya, saya langsung senang bukan main dan langsung membuat mindset bahwa saya harus nonton konser ini.

Saya sendiri masih ingat waktu itu saya bahkan rela mengantri di rumah Adrie Subono, bos Java Musikindo yang menggelar konser Deftones, untuk mendapatkan tiket lebih dulu. Dan setelah konser semalam, saya langsung merasa bahwa waktu itu tidak sia-sia saya datang ke rumah Adrie Subono dan mengantri tiketnya.

Semalam konser Deftones digelar di Tennis Indoor Senayan. Saya datang jam 7 tepat di Tennis Indoor Senayan. Saya sudah agak malas kalau harus mengantri lama di depan seperti yang saya alami di konser The Temper Trap pada November lalu. Tapi ternyata tidak ada antrian panjang sama sekali. Java Musikindo benar-benar menunjukkan keahlian dan pengalamannya mengatur para arena dan penonton dengan baik.

Begitu masuk dalam area di depan Tennis Indoor, penonton disambut dengan penampilan band rap rock Indonesia yaitu 7 kurcaci (apakah masih ada yang ingat dengan band ini?). Saya sendiri merasa cukup familiar dengan band ini tapi sempat lupa siapa mereka sampai teman saya mengingatkan bahwa mereka adalah 7 Kurcaci. Mereka tampil sejak pukul 18.30 dan membawakan 12 lagu.

Pada pukul 19.45, penonton sudah diperbolehkan masuk ke arena konser. TIdak ada backdrop macam-macam ataupun settingan panggung yang aneh-aneh di konser malam itu.

Deftones keluar menyambut penonton pukul 20.15 tepat, dan tanpa basa-basi langsung menghajar penonton dengan lagu 'Birthmark' yang kemudian dilanjutkan 'Engine no.9'. Chino Moreno, sang vokalis, beraksi sangat energik. Dia berlari kesana-kemari sambil men-swing mic nya. Kualitas vokal Chino juga tak diragukan lagi, sambil berlari ke sana kemari ia seperti tak kehabisan nafas untuk berteriak atau mengeluarkan nada tinggi saat bernyanyi. Chino Moreno juga tak lupa melontarkan pujian kepada produk lokal, Bir Bintang, dan kelihatannya dia sangat menikmati bir tersebut. Stephen Carpenter terlihat kalem namun sukses menyiksa sound system dengan riff-riff gitar dahsyat dan berat darinya. Stephen sempat mencuri perhatian saat ia menggunakan gitar yang bercahaya saat lampu dimatikan. Abe Cunningham bermain dengan penuh tenaga di balik drum set miliknya. Saya tidak banyak melihat aksi Sergio Vega, bassis yang mengisi posisi Chi Cheng untuk sementara, karena Sergio berada di sisi kanan panggung sedangkan saya berada di sisi kiri panggung. Frank Delgado sempat beberapa kali menghilang dari panggung saat Deftones memainkan lagu-lagu dari album 'Adrenaline' dan 'Around The Fur', tapi saat memainkan lagu-lagu dari album 'White Pony' hingga 'Diamond Eyes' Frank terlihat berada di panggung dan menikmati perannya sebagai turntablist dan memainkan berbagai macam sample.

Deftones sukses memainkan total 24 lagu selama 2 jam penuh. Mereka sukses membuat penonton menjadi liar tak terkendali saat memainkan lagu-lagu semacam 'My Own Summer (Shove It)', 'Hexagram', dan 'Rocket Skates'. Namun juga bisa membuat penonton kalem dengan lagu-lagu yang bernuansa cukup mistis seperti 'Minerva', 'Digital Bath', 'Beauty School', dan 'Sextape'. Deftones menutup penampilannya dengan 2 lagu encore 'Root' dan '7 Words' yang sukses membuat penonton bermoshing ria.

Dan ketika Deftones pamit dari panggung penonton pun masih setia menanti mereka kembali walaupun lampu sudah dinyalakan dan peralatan sudah dibereskan.

Secara keseluruhan, konser Deftones adalah konser yang fantastis. Walaupun saya tidak begitu menyukai Tennis Indoor karena menghasilkan akustik yang buruk, tapi pertunjukan Deftones malam itu tidak ada celanya bagi saya pribadi. Sound bising yang mereka ciptakan masih nyaman didengar di telinga saya.

Well, semoga suatu hari nanti saya masih bisa menonton Deftones lagi dengan Chi Cheng kembali ke atas panggung bersama mereka.

Senin, 07 Februari 2011

The Green Hornet [review]

AKhirnya setelah menunggu cukup lama, film The Green Hornet masuk ke Indonesia juga. Aslinya film ini dirilis tanggal 14 Januari di USA, baru sampai di Indonesia kira-kira 2 minggu setelahnya. The Green Hornet ini memang masuk referensi saya sebagai salah satu film wajib tonton di tahun 2011 ini.

Film The Green Hornet ini merupakan film yang diangkat dari sandiwara radio berjudul sama dari tahun 1936, yang kemudian sempat diangkat menjadi film serial di tahun 1940an dan kemudian menjadi acara televisi di tahun 1960an yang menampilkan Bruce Lee.

The Green Hornet menampilkan Britt Reid (diperankan Seth Rogen, yang juga ikut menjadi script writer), seorang playboy kaya raya dan anak dari James Reid (diperankan Tom Wilkinson), seorang pengusaha koran bernama The Daily Sentinel. Suatu hari, James Reid meninggal secara mendadak. Jadilah Britt mewarisi kekayaan dan perusahaan yang ditinggalkan sang ayah. Britt kemudian memecat semua karyawan ayahnya kecuali seorang maid, dan Kato, mekanik dari James Reid.

Kato menunjukkan berbagai keahliannya mulai dari membuat kopi yang sangat disukai Britt sampai memodifikasi mobil-mobil milik mendiang James Reid. Saat mereka mabuk bersama, mereka setuju bahwa mereka berdua membenci James Reid dan pergi ke makamnya untuk memotong kepala patung James Reid. Dari sinilah masalah bermulai. Mereka kemudian menolong pasangan yang diserang penjahat tapi kemudian mereka dikejar-kejar polisi karena juga dianggap kriminal.

Setelah kejadian tersebut, Britt kemudian mengajak Kato untuk membasmi kejahatan di Los Angeles. Britt kemudian menggunakan alias The Green Hornet, dan bersama Kato ia melindungi kota Los Angeles dengan melanggar hukum itu sendiri.

 

Sutradara Michel Gondry sukses membawa film ini menjadi film action-adventure dengan komedi yang menyenangkan. Walaupun begitu alur film ini terasa terlalu cepat, dengan mudah cerita berpindah dari satu karakter kemudian berlanjut lagi ke yang lain.

Akting Seth Rogen dan Jay Chou cukup memuaskan. Jay Chou memikul beban cukup berat karena harus memerankan karakter yang sama dengan almarhum Bruce Lee, tapi dia sukses memerankan karakter Kato (walaupun aksen Asian-English nya cukup membuat bingung).

Kemunculan Cameron Diaz tak lebih sebagai pemanis mata saja di film ini. Buat saya sih dia tetep cantik walaupun udah kelihatan agak tua :p

Dan seperti tren film Hollywood lainnya, film ini juga dirilis dengan menggunakan fitur 3D, tapi kelihatannya tidak membawa pengaruh berarti. Jadi bila tidak mau membuang banyak uang, lebih baik nonton versi yang tidak menggunakan 3D.

Secara keseluruhan, film ini cukup menyenangkan dan cukup menghibur dengan action dan komedi yang dilontarkan di film ini. Okelah untuk ditonton, tapi kalau erharap film action dengan cerita yang lebih menegangkan lebih baik tidak usah karena film ini adalah film action yang menghibur dengan cerita yang mudah dicerna.

Rabu, 02 Februari 2011

Gary Neville retires; Goodbye Captain!

Shocking news surprised me this morning. Gary Neville, Manchester United's current captain, announced his retirement from football.

It is such a surprising event because we will also lose our goalkeeper, Edwin Van Der Sar, in the end of this season.

Neville, 36 this month, made the decision after much consideration. In Manchester United's official website, he said:

"I have been a Manchester United fan all my life and fulfilled every dream I've ever had. Obviously I am disappointed that my playing days are at an end, however it comes to us all, and it's knowing when that time is and for me that time is now. I have played in the most incredible football teams, playing with some of the best players in the world as well as against them and I have been lucky to have been part of the team's achievements and the club's great success.

"There are so many people I want to thank and, of course, top of that list is Sir Alex. He has given me so many opportunities and countless support over the last 20 years - he is truly one of the greatest managers - and I have to thank him for that.

"There have also been so many great players that I have had the privilege to train and play alongside. The experiences we've shared will be with me for the rest of my life. Also, I'd like to thank all the coaches I have played under from youth level right through to now, who have guided me through my playing days. And finally, the fans, who have always shown me unbelievable support. They know how special they are to me and this club.

"I am looking forward to new experiences and the club will always be a part of my life going forward. However, the most important thing now is for the club to continue with the success that is synonymous with Manchester United and I will be supporting them all the way, as a fan."

 

Gary Neville played in Manchester United since 1991, he's also the member of the 1992 class along with Ryan GIggs, Paul Scholes, and David Beckham. He appeared for 602 appearances and made 7 goals with United. He also presented 8 Premier League trophies, 2 UEFA Champions League trophies, 3 FA Cup trophies, and other trophies.

20 seasons with one team is not a short time. We will always remember him as one of the best right back in England.

Goodbye Captain. We all love you